Selasa, 24 November 2009

MAHARANI

 

Saryanto, S. Sn.
Guru Seni Musik SMP Kartika II-2 Bandar Lampung


Dalam suasana cerahnya pagi tampak seraut wajah cantik dari balik jendela kamar, sosok seorang gadis yang sepertinya baru bangun dari tidur semalam. Perlahan tapi pasti si gadispun mulai bangkit berdiri dan mengayunkan langkahnya menuju pintu jendela dan perlahan ia membuka tirai jendela dan menatap ke arah datangnya sang fajar seolah dia menyambut datangnya cerahnya surya pagi. Adalah Maharani si pemilik paras rupawan itu. Memang oleh Sang Maha Pencipta Maharani di anugrahi paras yang cantik dan indah alami. Matanya yang bening dan indah akan membuat semua insan terpana di buatnya. Yang aku tahu Maharani adalah sosok gadis yang penuh canda, lincah dan selalu menebar senyum pada siapa saja yang di jumpai. Indahnya bulan purnama mungkin tidak seindah senyum yang tersungging dari bibirnya yang mungil. Teduhnya taman bunga mungkin tiada seteduh sinar matanya yang sayu nan perdu. Sosok gadis seperti Maharani adalah sosok gadis yang mungkin kata orang gadis yang serba sederhana tapi bagiku dia gadis yang cukup sempurna. Di mata orang dia adalah gadis yang biasa tapi di mataku dia adalah gadis yang istimewa. Mungkin kata-kata itu terlalu berlebihan, tapi memang itu kenyataan yang ada. Tapi akhir-akhir ini aku merasa Rani selalu hanyut ke dalam kegelisahan, kesedihan serta di rundung nestapa yang aku sendiri tak tahu apa penyebabnya. Semilir sang bayu yang lembut menyapamu seolah dia bertanya, mengapa sunyi hatimu tampak pilu? Seakan terkurung di lembah seribu sinar matamu berselimut kabut. Enggan mengatakan namun hanya beban sejuta penderitaan yang tak akan berakhir walau sampai ujung jaman. Sering aku perhatikan Rani duduk termangu. Matanya yang bening dan indah memandang kosong dan seakan tak berjiwa lagi. Malam yang sepi dan tak berteman ia lewatkan dengan hanya merenung sendiri. Aku yang peduli denganmu mencoba menghampirinya dan menanyakan apa yang sebenarnya sedang menimpa dirinya. Bukan jawaban yang aku dapat namun hanya linangan air mata yang membasahi keindahan kedua matanya. Di ujung malam yang sepi Rani, begitu sapaan akrab Maharani, terpaku merenungi kegagalan kehidupan cintanya. Kemana Rani harus mencari kekasihnya yang telah pergi? Siang- malam tiada henti seakan semua semakin menyiksamu. Cinta dalam hidup Rani kini seakan mati entah kemana. “Tuhan tunjukkanlah jalan agar semua kegagalan hidup dan cintanya biar berlalu dari hidupnya” begitu doa yang selalu aku panjatkan untuknya.
Kini hanya ada sejuta kebimbangan yang terlihat dari pancaran matanya yang bening, yang seakan tiada mampu untuk di ucapkan. Engkau adalah korban keangkuhan dari seorang manusia yang tak peduli dengan kehadiranmu. Sendiri sepi sendiri kini kau melangkah menyusuri kehidupan ini. Di antara gundah dalam dada kau telusuri jejak sang waktu. Tiada belai yang menyertaimu dan tiada tempat untuk mengadu. Kau insan malang yang sendirian menjilat malam. Engkaupun tak tahu siapa orang tuamu. Mungkin ini semua karena takdir yang tak pernah berakhir.
Dalam kegelisahan hati Rani diam sendiri merenungi yang telah terjadi. Kisah lama terus membayangi tampak nyata dalam lensa matanya. Walau kau pejam namun semua tetap terbayang bagai di dalam layar, semua jelas tergambar. Kini akan kemana harus kau hilangkan, rasa sesal terus membelenggu yang kian hari semakin menyiksamu. Semakin kau resapi akan semakin terasa pedih menusuk kalbumu. Kehidupan cintamu kini masih terbelenggu dalam suasana kelam. Dosa-dosa yang pernah ada tak kau sadari terjadinya, kini hanya sesal adanya membelit didalam dada. Noda-noda yang masih ada terus membayangi cintamu, berat terasa menekan jiwa tak mampu kau berdiri. Sejenak kembali aku bertanya, namun kembali keindahan matanya di basahi oleh beningnya tetesan air mata dan sambil berlinang air mata ia berkata, ”Yang aku inginkan adalah kasihnya bapak, di mana sembunyi? Yang aku inginkan adalah sayangnya ibu, kemana harus kucari? Dan aku juga menginginkan cintanya seorang kekasih, dimana?” Kemanapun kakimu melangkah hanya gelap yang selalu mengiringimu. Kini suara hatiku memacu langkahku untuk menggapaimu. “Dengarlah wahai gadis yang cantik, aku padamu sangatlah tertarik. Dari seberang aku datang hanyalah untukmu”. Dalam kegundahan hati yang dalam Rani berkata,” Jauh-jauhlah, jauhilah aku, mau-mau kau mau apa mendekati aku”. Aku coba untuk meyakinkan dan menghibur kegundahan hatinya dan berkata,” Janganlah marah, hai tersenyumlah, aku datang dari negeri timur, aku dengar di sini ada seorang putri sedang patah hati, apakah dirimu?” Kembali air matanya membasahi pipinya dan dangan jawaban yang lirih dan terbata ia berkata,” Ya…ya…ya…akulah, apakah engkau datang untuk aku? Akulah sekuntum bunga yang tiada bermadu lagi jelas tiada arti di hadapanmu. Aku laksana sumur tua yang tiada berair jangan kau menimba aku rasa percuma”. Dengan rasa iba yang mendalam aku kembali meyakinkan dan berkata,”Aku rela jadi hujan dalam kemarau hatimu agar bumi di hatimu basah kembali dan bersemi lagi”. Ijinkanlah cintaku berbunga di hatimu, biarkan terus mekar dan jadi kenyataan. Aku coba merenungi tentang semua jalan hidupmu dan menyimak sebuah arti kehidupan. Dalam hati aku selalu bertanya, adakah kasih suci dalam cinta? Adakah cintamu? Jauh di keheningan malam aku coba merenungi tentang jalan hidupmu. Kau bagaikan seberkas cahaya walau jarak dan waktuku membatasi gejolak dalam jiwaku. Biarkanlah cintamu bersemi lagi untuk menghalau gelapnya kehidupanmu. Biarkanlah semua bangkitkan kembali gairah cinta dan harapanmu. Aku tak ingin semua terulang kembali ke masa lalu yang penuh duka dan berliku. Walaupun perih dalam dada namun janganlah membuat kau tenggelam ke masa silam. Pandangilah diri ini sebagai tanda rela diri, berikanlah harapan dan kesempatan. Kini di sana aku temukan sebuah bukit yang terbuka dengan seribu cemara yang halus mendesah serta sebatang sungai yang membelah huma yang cerah. Lihatlah bunga-bunga di taman yang sedang berkembang menghiasi cinta yang indah. Di atas puncak pegunungan, di antara hijau dedaunan, di situ telah kau temukan arti hidup dan kehidupan. Di dalam keremangan malam, di saat rembulan bersinar, akan kau tuangkan semua itu dalam lembaran kehidupanmu yang baru. Kini rumpun bambu bergoyang gemersik dan melambai seakan memberikan ucapan selamat jalan pada derita jiwa. Kini di wajahmu aku melihat bulan yang pancarkan sinar terang. Ingin aku menyantuh dan aku sentuh walau tangan ini terasa lumpuh. Aku juga melihat di matamu ada mentari yang indah tiada terperi. Sekarang di bibirnya terlukis senyum yang yakin akan cerahnya masa depan. Matanya bersinar dalam kehidupan, mulutnya bergerak menyusun doa yang meluncur menembus himpitan sepi. Suryapun kini merekah pagi dan membuka tabir hari. Nampaknya kini tiada lagi yang harus diresahkan dan juga di gelisahkan, kecuali untuk di hayati secara syahdu bersama selamanya.

Tidak ada komentar:
Write komentar